Kamis, 26 Juni 2014

Resensi: Buku 4 Inheritance






“Kau harus belajar... untuk melihat apa yang kau cari.” –Glaedr, hal. 133-

Eragon hanyalah seorang anak petani miskin yang tidak pernah mengalami hal-hal yang menakjubkan dalam hidupnya. Sampai suatu hari ia menemukan sebutir batu berkilau di hutan yang ia pikir akan laku dijual. Esoknya, batu itu menghilang dengan meninggalkan pecahan-pecahan dan sesosok kadal kecil yang menyemburkan api—naga. Sejak itu hidup Eragon berubah. Naga itu menetas untuknya, menasbihkan ia sebagai penunggang naga terakhir yang hidup setelah kejatuhan klan penunggang naga karena pengkhianatan satu di antaranya. Pengkhianat itu membantai semua penunggang dan mengambil jantung naga-naga sebagai sumber kekuatan jahat. Kemudian ia menobatkan dirinya sebagai raja Alagaesia, Raja Galbatorix. Raja itu kejam dan sangat jahat. Ia harus dihentikan. Tapi, tidak ada yang sanggup bertahan hidup jika Galbatorix menginginkannya mati. Tidak juga elf, kurcaci, urgal, maupun kucing jadi-jadian.

Buku keempat ini mengisahkan akhir petualangan Eragon semenjak menemukan Saphira, naganya, hingga bertemu kaum Varden yang bertekad melawan Galbatorix. Galbatorix sudah mengetahui ada penunggang dan naga yang baru menetas. Eragon pun tidak bisa bersembunyi selamanya. Jika Galbatorix memutuskan untuk mencarinya sendiri, Eragon dan Saphira tidak akan punya kesempatan. Dengan bimbingan dari penunggang naga terakhir yang selama ini bersembunyi di negeri para elf, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon memutuskan untuk melawan Galbatorix dan berjuang bersama kaum Varden yang dipimpin oleh Nasuada. Dalam pertempuran pertama mereka melawan kekaisaran, Eragon bertemu dengan penunggang lain dan naga jantannya yang menetas setelah Saphira, Thorn. Penunggang itu tidak lain adalah Murtagh, kakak Eragon dari ayah yang berbeda. Murtagh yang sudah berada di bawah kekuasaan Galbatorix membiarkan Eragon selamat tapi membunuh Oromis dan Glaedr. Eragon merasa sangat terpukul. Meski demikian, kaum Varden harus terus bergerak untuk merebut kota-kota yang mereka lewati dalam perjalanan menuju Urubaen, tempat Galbatorix berada. Tetapi mereka kembali diserang oleh Murtagh dan Thorn yang menculik Nasuada. Dalam keputusasaannya, Eragon teringat perkataan Solembum si kucing jadi-jadian;

“Ketika tiba waktunya kau membutuhkan senjata, carilah di bawah akar-akar pohon Menoa. Kemudian, ketika semua terasa kacau dan kekuatanmu tidak memadai, pergilah ke Karang Kuthian dan sebut namamu ke Ruang Jiwa-Jiwa yang terbuka.” -Solembum, hal. 415-

Waktu pertama kali melihat sampul buku keempat dari epik Eragon, aku langsung bertanya-tanya, siapa sih si naga hijau ini? Sejauh yang kuketahui, sampul buku 1 Eragon bergambar naga betina ungu yaitu Saphira, naganya si Eragon. Sampul buku 2 Eldest bergambar naga jantan merah bernama Thorn milik kakak Eragon, Murtagh. Sampul buku 3 Brisingr bergambar naga jantan emas yaitu Glaedr, naganya guru Eragon, Oromis. Sebelumnya aku yakin, pasti sampul buku 4 Inheritance adalah Shruikan, naganya si raja lalim Galbatorix. Tapi, Shruikan berwarna hitam. Jadi, siapakah itu?

Sebagaimana judulnya, buku keempat ini mengisahkan tentang warisan terakhir para penunggang naga sebelum dibantai oleh Galbatorix. Melalui buku ini, pembaca akan diajak kembali ke kota-kota kuno di mana dulu penunggang naga, elf, dwarf, dan makhluk lainnya hidup dalam damai, sebelum Galbatorix menyerang. Kita mungkin sudah biasa mendengar bahwa kebaikan akan selalu menang. Tapi bagaimana mungkin seorang penunggang muda akan bisa mengalahkan seorang raja yang sudah berkuasa beratus tahun lamanya, yang tak terkalahkan oleh penunggang naga yang paling hebat sekalipun? Mungkin kita juga sering melupakan hal-hal mendasar, bahwa kita selalu menciptakan batasan untuk diri kita sendiri dengan mengatakan “tidak bisa”. Eragon menunjukkan pada kita bahwa pada akhirnya, keyakinan dan kebaikan dapat mengalahkan segalanya.

Bahasa yang mengalir, deskripsi yang detil, dan kejutan-kejutan selalu menjadi ciri khas Christopher Paolini. Sepertinya buku ini perlu peringatan untuk dibaca hanya pada akhir pekan, karena akan sulit diletakkan sebelum sampai di halaman terakhir, 906. Banyaknya detil memang terkadang agak membosankan karena ingin segera sampai pada adegan selanjutnya. Epik ini juga menggunakan banyak bahasa dan istilah yang rumit, selain juga begitu banyak karakter. Namun demikian, buku ini menyertakan sinopsis dari ketiga buku sebelumnya sehingga akan mudah dipahami bagi pembaca yang belum membaca buku-buku terdahulu.

Christopher Paolini sekali lagi menunjukkan kejeniusannya dalam mengolah imajinasi dengan ending yang unpredictable, menyempurnakan empat episode epik yang luar biasa. Empat bintang untuk buku ini. Wajib dibaca oleh para pecinta novel fantasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar