“Kau harus belajar... untuk melihat apa yang kau
cari.” –Glaedr, hal. 133-
Eragon hanyalah seorang anak petani miskin yang
tidak pernah mengalami hal-hal yang menakjubkan dalam hidupnya. Sampai suatu
hari ia menemukan sebutir batu berkilau di hutan yang ia pikir akan laku
dijual. Esoknya, batu itu menghilang dengan meninggalkan pecahan-pecahan dan
sesosok kadal kecil yang menyemburkan api—naga. Sejak itu hidup Eragon berubah.
Naga itu menetas untuknya, menasbihkan ia sebagai penunggang naga terakhir yang
hidup setelah kejatuhan klan penunggang naga karena pengkhianatan satu di
antaranya. Pengkhianat itu membantai semua penunggang dan mengambil jantung
naga-naga sebagai sumber kekuatan jahat. Kemudian ia menobatkan dirinya sebagai
raja Alagaesia, Raja Galbatorix. Raja itu kejam dan sangat jahat. Ia harus
dihentikan. Tapi, tidak ada yang sanggup bertahan hidup jika Galbatorix
menginginkannya mati. Tidak juga elf, kurcaci, urgal, maupun kucing
jadi-jadian.
Buku keempat ini mengisahkan akhir petualangan
Eragon semenjak menemukan Saphira, naganya, hingga bertemu kaum Varden yang
bertekad melawan Galbatorix. Galbatorix sudah mengetahui ada penunggang dan
naga yang baru menetas. Eragon pun tidak bisa bersembunyi selamanya. Jika
Galbatorix memutuskan untuk mencarinya sendiri, Eragon dan Saphira tidak akan
punya kesempatan. Dengan bimbingan dari penunggang naga terakhir yang selama
ini bersembunyi di negeri para elf, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon
memutuskan untuk melawan Galbatorix dan berjuang bersama kaum Varden yang
dipimpin oleh Nasuada. Dalam pertempuran pertama mereka melawan kekaisaran,
Eragon bertemu dengan penunggang lain dan naga jantannya yang menetas setelah
Saphira, Thorn. Penunggang itu tidak lain adalah Murtagh, kakak Eragon dari
ayah yang berbeda. Murtagh yang sudah berada di bawah kekuasaan Galbatorix
membiarkan Eragon selamat tapi membunuh Oromis dan Glaedr. Eragon merasa sangat
terpukul. Meski demikian, kaum Varden harus terus bergerak untuk merebut
kota-kota yang mereka lewati dalam perjalanan menuju Urubaen, tempat Galbatorix
berada. Tetapi mereka kembali diserang oleh Murtagh dan Thorn yang menculik
Nasuada. Dalam keputusasaannya, Eragon teringat perkataan Solembum si kucing
jadi-jadian;
“Ketika tiba waktunya kau membutuhkan senjata,
carilah di bawah akar-akar pohon Menoa. Kemudian, ketika semua terasa kacau dan
kekuatanmu tidak memadai, pergilah ke Karang Kuthian dan sebut namamu ke Ruang
Jiwa-Jiwa yang terbuka.” -Solembum, hal. 415-
Waktu pertama kali melihat sampul buku keempat
dari epik Eragon, aku langsung bertanya-tanya, siapa sih si naga hijau ini?
Sejauh yang kuketahui, sampul buku 1 Eragon bergambar naga betina ungu yaitu
Saphira, naganya si Eragon. Sampul buku 2 Eldest bergambar naga jantan merah
bernama Thorn milik kakak Eragon, Murtagh. Sampul buku 3 Brisingr bergambar
naga jantan emas yaitu Glaedr, naganya guru Eragon, Oromis. Sebelumnya aku
yakin, pasti sampul buku 4 Inheritance adalah Shruikan, naganya si raja lalim
Galbatorix. Tapi, Shruikan berwarna hitam. Jadi, siapakah itu?
Sebagaimana judulnya, buku keempat ini mengisahkan
tentang warisan terakhir para penunggang naga sebelum dibantai oleh Galbatorix.
Melalui buku ini, pembaca akan diajak kembali ke kota-kota kuno di mana dulu
penunggang naga, elf, dwarf, dan makhluk lainnya hidup dalam damai, sebelum
Galbatorix menyerang. Kita mungkin sudah biasa mendengar bahwa kebaikan akan
selalu menang. Tapi bagaimana mungkin seorang penunggang muda akan bisa
mengalahkan seorang raja yang sudah berkuasa beratus tahun lamanya, yang tak
terkalahkan oleh penunggang naga yang paling hebat sekalipun? Mungkin kita juga
sering melupakan hal-hal mendasar, bahwa kita selalu menciptakan batasan untuk
diri kita sendiri dengan mengatakan “tidak bisa”. Eragon menunjukkan pada kita
bahwa pada akhirnya, keyakinan dan kebaikan dapat mengalahkan segalanya.
Bahasa yang mengalir, deskripsi yang detil, dan
kejutan-kejutan selalu menjadi ciri khas Christopher Paolini. Sepertinya buku
ini perlu peringatan untuk dibaca hanya pada akhir pekan, karena akan sulit
diletakkan sebelum sampai di halaman terakhir, 906. Banyaknya detil memang
terkadang agak membosankan karena ingin segera sampai pada adegan selanjutnya.
Epik ini juga menggunakan banyak bahasa dan istilah yang rumit, selain juga
begitu banyak karakter. Namun demikian, buku ini menyertakan sinopsis dari
ketiga buku sebelumnya sehingga akan mudah dipahami bagi pembaca yang belum
membaca buku-buku terdahulu.
Christopher Paolini sekali lagi menunjukkan kejeniusannya
dalam mengolah imajinasi dengan ending yang unpredictable,
menyempurnakan empat episode epik yang luar biasa. Empat bintang untuk buku ini.
Wajib dibaca oleh para pecinta novel fantasi.